Diskusi dengan Jany Agustin tentang rekayasa keselamatan jalan di Indonesia
dan tantangannya.
Jany Augustin adalah salah satu anggota
Unit Rekayasa Keselamatan Jalan (URKJ) dan juga konsultan Prakarsa
Infrastruktur Indonesia (IndII) yang didanai AusAID. Tim URKJ yang dibentuk
pada 2009 ini beranggotakan 10 orang konsultan, lima dari IndII dan lima dari
Direktorat Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum.
Pada tahun 2009 Jany pensiun dari
posisinya terakhir sebagai Kasubdit Teknik Lingkungan dan Keselamatan Jalan di
Kementerian Pekerjaan Umum. Selanjutnya ia bekerja sebagai konsultan IndII di
bidang keselamatan jalan.
Dalam wawancara dengan Prakarsa, Jany memaparkan kegiatan, pencapaian
dan rencana-rencana URKJ.
Prakarsa:
Apa sasaran URKJ?
Jany: Memastikan agar keselamatan jalan
menjadi pertimbangan dalam penyelenggaraan jalan, mulai dari pemeliharaan,
pelebaran atau penambahan kapasitas, sampai pembangunan jalan baru.
Apa saja
aktivitas URKJ selama ini?
Kami membantu Sub Direktorat Teknik
Lingkungan dan Keselamatan Jalan untuk melakukan audit keselamatan, melakukan
investigasi blackspot. (Blackspot adalah bagian jalan, di mana banyak terjadi
kecelakaan). Dan, yang lebih penting lagi, memberi pelatihan penyelenggaraan
jalan kepada rekan-rekan di Dirjen Bina Marga, mulai dari level perencanaan,
pembangunan jalan, sampai pengoperasian jalan. Investigasi blackspot, misalnya, dilakukan untuk jalan yang
sudah beroperasi.
Pihak
kesehatan - ketika kami tanya apa yang dibutuhkan untuk peningkatan standar
post-crash response – mengatakan yang paling penting adalah adanya jalur bahu
jalan yang selalu terbuka dengan kondisi yang bagus, sehingga ambulans setiap
saat dapat menggunakannya tanpa hambatan.
Anda
menyebut audit, investigasi, dan pelatihan. Dari ketiga kegiatan tersebut, mana
yang paling banyak menyita perhatian URKJ sampai saat ini?
Yang paling banyak menyita waktu
tentunya audit dan investigasi blackspot. Namun dari segi prioritas, yang paling dibutuhkan
adalah pelatihan, karena kami harus menanamkan kesadaran akan pentingnya jalan
yang berkeselamatan.
Pada mulanya banyak rekan yang berpikir
bahwa untuk pemenuhan penyediaan jalan yang bagus saja Indonesia masih terseok-seok, kok kita sudah memikirkan standar
keselamatan? Seharusnya kita tidak boleh berpikir begitu. Sudah tugas kita
menyediakan infrastruktur yang berkeselamatan, bukan hanya untuk mengurangi
kecelakaan, tapi juga untuk mengurangi luka berat dan kematian akibat
kecelakaan tersebut.
Sekalipun tidak berhasil mengurangi
jumlah kecelakaan, kita bisa mengurangi kematian yang diakibatkannya. Jadi
meskipun kecelakaan tetap terjadi, jangan sampai korban meninggal, atau luka
berat, atau bahkan luka ringan. Kalau mungkin, kecelakaan hanya menyebabkan
kerusakan mobil saja.
Saat ini timing-nya sudah tepat sekali untuk
menjalankan inisiatif keselamatan jalan ini, karena UU No. 22 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sudah dikeluarkan tahun 2009. PBB juga baru-baru ini
mendeklarasikan Decade of Action [DOA] for Road Safety. Sejalan dengan hal ini, pada tanggal
20 Juni kemarin Wakil Presiden Budiono mencanangkan Decade
of Action Indonesia. Dalam
rangka pencanangan itu, IndII membantu Bapennas, yang berfungsi sebagai
koordinator, untuk merancang masterplan tentang keselamatan jalan di Indonesia.
Bagaimana
caranya agar jumlah kematian akibat kecelakaan bisa dikurangi?
Dengan mengikutsertakan semua pemangku
kepentingan dari PU atau Bina Marga, Departemen Perhubungan, Kepolisian,
Departemen Kesehatan, industri automotif. Semua harus bekerjasama, sebab kalau
tidak, semua upaya akan sia-sia. Semua ini dituangkan dalam Rencana Umum
Nasional Keselamatan Jalan [RUNKJ] yang diluncurkan dalam deklarasi DOA itu.
RUNKJ ini mencakup berbagai aspek, mulai
dari bagaimana Bina Marga dapat menyelenggarakan infrastruktur yang
berkeselamatan, bagaimana menciptakan kendaraan yang berkeselamatan, dan
bagaimana melakukan penanganan pasca-kecelakaan. Ada yang mengatakan, kematian
bisa dikurangi 50 persen dengan post-crash response yang tepat. Di bidang kesehatan ada
istilah golden hour. Setelah terjadi kecelakaan, jika ditangani dengan
cepat dan tepat, korban lebih berpeluang diselamatkan. Misalnya, dengan
kedatangan ambulans tepat waktu.
Pihak kesehatan - ketika kami tanya apa
yang dibutuhkan untuk peningkatan standar post-crash response – mengatakan yang paling penting
adalah adanya jalur bahu jalan yang selalu terbuka dengan kondisi yang bagus,
sehingga ambulans setiap saat dapat menggunakannya tanpa hambatan.
Contoh dari segi pemeliharaan jalan:
Biasanya kalau seluruh jalan berlubang, pengendara kendaraan bermotor
berhati-hati ketika melewatinya. Namun jika hanya ada satu atau dua lubang di
satu ruas jalan yang panjang dan mulus, pengendara motor biasanya menghindar.
Mereka akan mengambil jalur kanan dengan tiba-tiba. Di jalan raya dua arah, ini
bisa menyebabkan tabrakan dengan kendaraan dari arah berlawanan. Tugas kita
adalah memastikan tidak ada lubang di jalan yang dapat menyebabkan kejadian
seperti ini.
Siapa saja
yang menerima pelatihan URKJ?
Para penyelenggara jalan, termasuk
teman-teman di Direktorat Jenderal dan di kantor-kantor Bina Marga di daerah.
Di daerah disebut balai (pusat). Setiap balai biasanya terdiri dari dua atau
tiga provinsi.
Yang kami latih hanya pelaksana saja,
karena tingkatan dirjen atau direktur terlalu tinggi. Namun kami juga
menyerahkan materi dan saran-saran kepada para pejabat ini. Kami berharap
mereka membahasnya agar lebih memahami persoalan-persoalan keamanan jalan.
Sebenarnya kami berharap adanya komitmen
dari para pejabat. Jika Dirjen, direktur hingga para pelaksana, baik pelaksana
perencanaan, pelaksana konstruksi di lapangan, atau pelaksanaan pemeliharaan,
sudah memiliki komitmen, maka pelaksanaannya bisa lebih cepat tersosialisasi.
Komitmen sudah ada, tapi kami mengharapkan adanya komitmen yang lebih besar
lagi.
Bagaimana
kemajuan yang dicapai saat ini?
Dulu ketika kami mengadakan pelatihan
pertama kali, dari ekspresi wajah para peserta dan pertanyaan yang mereka
ajukan, saya tahu mereka merasa skeptis. Saat itu banyak yang mempertanyakan
pentingnya training tersebut, karena bagi mereka keselamatan itu barang mewah.
Sekarang sebaliknya, kami malah diundang
untuk memberikan pelatihan, bahkan beberapa peserta rela menanggung biaya
sendiri, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh Dinas Bina Marga Semarang,
dan juga sebentar lagi diadakan oleh balai di Ambon. Dulu kami yang menanggung
biayanya. Ini suatu kemajuan sejak kami mulai menanamkan kesadaran tentang
keselamatan jalan pada 2008.
Kami juga mulai diundang untuk melakukan
audit, padahal sebelumnya mereka tidak bersedia jika ada pihak yang mengaudit.
Kemajuan ini terutama terlihat tiga
sampai empat bulan belakangan ini. Hal ini mungkin terjadi setelah adanya
pencanangan Decade of Action, tapi saya kira usaha kami yang sangat
konsisten dan aktif mendiseminasi keselamatan jalan ini telah berbuahkan hasil
yang positif.
Sudah
berapa banyak daerah yang dilatih?
Kami (IndII) sudah menyelenggarakan
sembilan pelatihan besar di balai. Di luar itu, kami juga memberikan latihan
yang lebih kecil di Dinas Bina Marga di kota-kota tertentu untuk meningkatkan
kesadaran akan keselamatan jalan.
Bisa
diceritakan sejarah berdirinya URKJ?
Pada awalnya, Australia menawarkan
bantuan untuk melakukan studi tentang keselamatan jalan yang dilakukan oleh
Eric Howards. Hal ini menyedot perhatian akan pentingnya meningkatkan kemampuan
para penyelenggara jalan di Indonesia.
Semula IndII, melalui Philip Jordan,
memberikan training terhadap anggota URKJ, yang tidak hanya terbatas di kantor
tapi juga di lapangan, di lokasi-lokasi seperti Palembang, Jambi, Medan dan
Bandung. Dengan praktik inilah, kami lebih cepat meresap ilmunya.
Kenapa URKJ
dibutuhkan?
Infrastruktur yang tidak layak
berpeluang menyebabkan kecelakaan dan kematian akibat kecelakaan. Sementara
itu, meskipun UU tentang jalan menyebutkan bahwa kita harus menyediakan
infrastruktur yang berkeselamatan, pada kenyataannya keselamatan belum menjadi
bagian tak terpisahkan dari perencanaan dan pelaksanaan jalan.
Mungkin sebelumnya pemerintah belum
menganggap keselamatan jalan sebagai prioritas. Meskipun standar perencanaan
jalan yang ada sudah mempertimbangkan keselamatan jalan, standar tersebut masih
sangat minimum, dan hanya dipenuhi bila tidak membuat biaya bengkak. Kebanyakan
standar bahkan sudah kedaluwarsa dan tidak mengikuti pemikiran terbaru.
Dulu pernah Puslitbang (Pusat Penelitian
dan Pengembangan) Jalan dan Jembatan di bawah PU mengeluarkan manual komplit
mengenai audit keselamatan jalan, yang diterjemahkan dari Austroad [Asosiasi
perhubungan darat dan otoritas lalu lintas Australia dan Selandia Baru]. Tapi
referensi yang digunakan dalam manual itu sudah ketinggalan, dan Austroad
sendiri sudah memperbaharuinya.
Dan itu hanya menyangkut prosedur audit.
Berdasarkan penelitian yg dilakukan Australia, ada beberapa perlengkapan yang
digunakan di jalan-jalan di Indonesia, misalnya guard rail [pembatas], yang tidak memenuhi standar
keselamatan.
Di Australia, berlaku ketentuan bahwa
standar keselamatan harus ditinjau kembali setiap lima tahun, atau lebih awal
jika dirasa penting. Sebetulnya, ketentuan untuk meninjau ulang standar
keselamatan setiap lima tahun itu berlaku juga di Indonesia, hanya tidak pernah
diterapkan. Akibatnya, standar tidak pernah diperbarui.
Sekarang sudah terlihat ada niat untuk
meninjau kembali berbagai standar yang ada, namun tinjauan kembali ini belum
dirumuskan. Juga belum komprehensif, hanya memperhatikan satu atau dua butir
saja. Itu sebabnya IndII telah dimintai bantuan untuk mempercepat proses ini.
Selama ini
apa tantangan utama URKJ?
Semula rencana kami adalah melakukan Training
of Trainers (TOT) di
tingkat balai atau propinsi. Para pelatih inilah yang kemudian melakukan
transfer pengetahuan di daerah masing-masing.
Ternyata tidak semudah itu. Memang kami
telah berhasil membangun kesadaran akan pentingnya keselamatan jalan, tapi
ketika kesadaran itu perlu diterjemahkan dalam tindakan yang konkrit - seperti
melakukan investigasi daerah blackspot atau mengubah desain jalan agar lebih
berkeselamatan - ternyata kami berhadapan dengan kendala sumber daya manusia.
Saat ini hanya ada 10 orang ahli
rekayasa keselamatan jalan untuk seluruh Indonesia. Jadi jelas ada kebutuhan
akan sumber daya manusia. Idealnya, di satu propinsi paling tidak ada dua atau
tiga orang ahli rekayasa. Dan itu pun hanya untuk jalan nasional, yang
jumlahnya hanya 10 persen dari seluruh jalan di Indonesia.
Untuk bisa melakukan audit atau
investigasi blackspot dibutuhkan pengalaman. Cukup sulit
mendiagnosis apa penyebab kecelakaan dan memberi rekomendasi untuk
mengatasinya. Itu sebabnya kami terus meningkatkan kemampuan dan kapabilitas
SDM.
Memang perjalanan kami masih jauh
sekali.
Apa
pencapaian URKJ sampai saat ini?
Kami telah berhasil meningkatkan
kesadaran akan keselamatan jalan, dan melakukan audit dan investigasi blackspot. Sampai kini kami telah melakukan
investigasi terhadap sekitar 70 lokasi, dan kami telah menyerahkan hasilnya
kepada Dinas Bina Marga untuk ditindaklanjuti.
Apakah
rekomendasi URKJ selalu ditindaklanjuti oleh pihak Bina Marga?
Sebagian sudah, sebagian belum.
Dari sekian
banyak blackspot, apakah telah diidentifikasikan
persoalan-persoalan yang mirip atau serupa?
Dari rekomendari kami, jelas bahwa rambu
dan marka jalan menempati prioritas yang paling tinggi. Hampir dapat dikatakan,
di setiap hasil audit dan investigasi blackspot, pasti ada masalah rambu dan marka,
entah itu kurang, hilang, tidak ada, salah penempatan, atau terhalang pohon.
Penempatan
rambu dan marka jalan berada di bawah wewenang Perhubungan, apakah biasanya
rekomendasi URKJ kemudian ditindaklanjuti oleh pihak Perhubungan?
Hal ini bisa bermasalah karena
Kementerian Perhubungan tidak mempunyai dana untuk menempatkan rambu dan marka.
Di sisi lain Bina Marga mempunyai dana tapi tidak memiliki otoritas. Kami
berharap dapat mengatasi hal ini dengan menyediakan pelatihan, agar masalah ini
dapat terselesaikan
Apa rencana
URKJ?
Kami akan terus melakukan workshop dan training. Baru-baru ini IndII melaksanakan
workshop perihal keselamatan di lapangan (safety in worksite) pada saat berlangsungnya konstruksi di
Denpasar dan Makasar.
Meningkatkan kesadaran Bina Marga di
provinsi dan balai saja tidak cukup. Pihak konsultan perencana seharusnya punya
kemampuan untuk mendesain jalan yang berkeselamatan, begitu juga konsultan
pelaksana harus dapat membangun jalan yang berkeselamatan. Maka kami juga
berniat untuk melatih para designer dan pengawas di lapangan. Artinya
konsultan dan kontraktor Bina Marga – dari manajer proyek sampai konsultan
pengawas – semua harus punya kesadaran berkeselamatan.
Rencana kami membutuhkan lebih banyak
pelatihan lagi. Ini pekerjaan rumah yang sedang kami garap.
Bagaimana
Anda bisa terjun ke bidang keselamatan jalan?
Saya lulus dari Teknik Sipil Universitas
Parahyangan, Bandung, tahun 1978, dan sebulan sebelum lulus telah bekerja di
Departemen Pekerjaan Umum. Tahun 1984 saya melanjutkan studi S2 di bidang Traffic
Engineering di Institut
Teknologi Bandung.
In 2001, I was appointed Head of the
Sub-Directorate for Environmental Engineering at DGH. In 2004, road safety was
added to the main duties and functions of this role. Since that time, I started
thinking about how we could promote environmental safety. It so happened that
my background is in traffic engineering, which dovetails with road safety.
Tahun 2001 saya diangkat menjadi
Kasubdit Teknik Lingkungan di Bina Marga. Pada 2004 keselamatan jalan
dimasukkan dalam tugas pokok dan fungsi Kasubdit Teknik Lingkungan. Sejak itu
saya mulai berpikir, bagaimana kita dapat menggalakkan keselamatan lingkungan.
Kebetulan latar belakang saya adalah traffic engineering yang sejalan dengan road
safety.
Pada tahun 2004 kami mulai mencari cara
untuk meningkatkan keselamatan jalan. Tahun 2006 kami dilatih oleh Philip
Jordan atas tanggungan Bank Dunia. Kebetulan dua tahun kemudian IndII masuk ke
bidang ini. Sejak IndII mulai memberi bantuan, program di bidang keselamatan
jalan ini berjalan lebih cepat.
Tahun 2009 saya pensiun dari Bina Marga,
dan selanjutnya bekerja sebagai konsultan di IndII. Sekarang saya bisa lebih
fokus ke bidang keselamatan jalan. Sebelumnya, segala macam topik ada di meja
saya, karena Subdit Lingkungan mencakup beberapa isu di luar teknik jalan –
mulai dari masalah AMDAL, trafficking hingga HIV/AIDS.
Hampir
dapat dikatakan, di setiap hasil audit dan investigasi blackspot, pasti ada
masalah rambu dan marka, entah itu kurang, hilang, tidak ada, salah penempatan,
atau terhalang pohon.
Apa reaksi
kebanyakan orang melihat Anda, seorang perempuan, di bidang yang saat ini
cenderung dikuasai pria?
Sebenarnya URKJ sendiri setengahnya
terdiri dari perempuan, termasuk yang dari Bina Marga. Kaget mungkin tidak,
tapi ada beberapa yang heran, kok begitu banyak perempuan di tim ini.
Kenapa bisa
begitu?
Karena road safety kan dimasukkan dalam subdit teknik
lingkungan. Dari dulu memang banyak perempuan di situ. Dulu Staf saya sebagian
besar perempuan.
Apa memang
karier bidang rekayasa keselamatan jalan ini cocok untuk perempuan?
Saya selalu menganjurkan pegawai negeri
sipil baru untuk masuk ke road safety. Dari pengalaman saya melihat memang bidang ini cocok
untuk perempuan. Road safety itu gabungan antara teknik dan seni.
Dibutuhkan dua kemampuan ini untuk bisa menjadi road safety engineer. Saat menginvestigasi blackspot kita seperti dokter, mendiagnosis apa yg
salah, kenapa terjadi kecelakaan bertubi-tubi di situ. Meskipun ada standar dan
panduan, tidak ada formula yang pasti. Tidak ada jawaban yang paling benar.
Semuanya berdasarkan pengalaman dan penilaian kita.
Apa saran
Anda untuk seseorang yang ingin berkarier di bidang road safety
engineering?
Saya kira bidang ini terbuka untuk siapa
saja. Di Dirjen Perhubungan Darat, di Kepolisian, selalu ada kebutuhan akan
pengetahuan tentang road safety engineering.
Tapi yang pasti, perlu latar belakang engineering. Meskipun untuk menjadi tim audit,
seseorang bisa berbekal ilmu apa saja, paling tidak di Indonesia saat ini
dibutuhkan sisi engineering-nya. Dan untuk berkarier di bidang ini tidak perlu
masuk PU, bisa juga lewat sektor swasta seperti saya. Indonesia masih
membutuhkan banyak insinyur road safety, karena jalan nasional di bawah Bina Marga saja, yang
hanya sepersepuluh dari total jalan di Indonesia, masih belum bisa ditangani.
Apalagi kalau ditambah jalan provinsi dan kabupaten.
No comments:
Post a Comment