::Taatilah Rambu-Rambu Lalu Lintas::Taatilah Rambu-Rambu Lalu Lintas::Taatilah Rambu-Rambu Lalu Lintas::

10/19/2012

audit keselamatan jalan raya


Audit Keselamatan Infrastruktur Jalan

SurelCetakPDF
audit_keselamatanPembangunan infrastruktur jalan pada lintas Pantura Jawa memiliki nilai yang sangat strategis dalam mendukung perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, dibalik manfaat besar yang diperoleh, ternyata muncul beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan infrastruktur jalan, antara lain: (1) kecelakaan lalu lintas kendaraan akibat defisiensi keselamatan infrastruktur jalan; dan (2) polusi dan kebisingan yang dirasakan oleh pengguna jalan akibat kemacetan yang berkepanjangan.

Pengalaman yang dimiliki oleh negara maju dalam mengatasi defisiensi keselamatan jalan seringkali tidak diterapkan di Indonesia karena hampir 92% terjadinya kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia, 5% oleh faktor kendaraan dan 3% oleh faktor infrastruktur jalan dan lingkungannya. Sementara itu, Fuller (2005) dalam Mulyono (2008.c; 2009) menyimpulkan bahwa interaksi antara manusia dan kondisi permukaan jalan memberikan kontribusi hampir 35% terhadap terjadinya kecelakaan di jalan raya (Treat, et al., 1977) yang kemudian berkurang menjadi 24% (Austroads, 2002).
Penanganan defisiensi infrastruktur keselamatan jalan raya di Indonesia dilakukan oleh 2 (dua) lembaga pemerintah, yaitu Ditjen Bina Marga dan Ditjen Perhubungan Darat. Sebagai pihak penyelenggara dan pengelola jalan, Ditjen Bina Marga memiliki wewenang dan tanggung jawab pokok dalam merencanakan desain jalan sesuai standar dan memperbaiki lokasi rawan kecelakaan. Ditjen Perhubungan Darat memiliki tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan harmonisasi rambu atau petunjuk keselamatan jalan terhadap fungsi jalan. Kedua lembaga pemerintah tersebut dalam prakteknya di lapangan belum terintegrasi secara optimal, misalnya: (1) sering dijumpai tidak adanya rambu batasan batasan kecepatan pada tikungan jalan yang disesuaikan dengan fungsi jalan; dan (2) keterlambatan penanganan rambu dan marka pada permukaan perkerasan baru maupun jalan yang rusak secara struktural.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa untuk meminimalkan defisiensi keselamatan infrastruktur jalan, maka ada 3 (tiga) aspek penting yang harus dipenuhi, yaitu: forgiving road environment, self-explaining road, self-regulating road (Ditjen Bina Marga, 2006; 2007.a & Mulyono, et al., 2008; 2009). Oleh karenanya, beberapa upaya penting yang harus segera dilakukan untuk meminimalkan defisiensi keselamatan infrastruktur jalan eksisting yang melayani lalu lintas kendaraan adalah audit defisiensi keselamatan infrastruktur jalan berdasarkan data kecelakaan serta pengukuran langsung di lapangan terhadap penyimpangan geometrik dan jarak pandang, kondisi kerusakan perkerasan, dan ketidakharmonisan fasilitas perlengkapan jalan terhadap fungsi jalan.
Secara umum, keselamatan infrastruktur jalan dapat diartikan sebagai upaya dalam menanggulangi kecelakaan yang terjadi di jalan raya (road crash) yang tidak hanya disebabkan oleh faktor kondisi kendaraan maupun pengemudi, namun disebabkan pula oleh banyak faktor, antara lain: (1) kondisi ala (cuaca); (2) desain ruas jalan (alinyemen vertikal dan horizontal); (3) jarak pandang pengemudi; (3)kondisi kerusakan perkerasan; (4) kelengkapan rambu atau petunjuk jalan; (5) pengaruh budaya dan pendidikan masyarakat sekitar jalan; dan (6) bahkan peraturan / kebijakan lokal yang berlaku, dapat secara tidak langsung memicu terjadinya kecelakaan di jalan raya, misalnya penetapan lokasi sekolah dasar di tepi jalan arteri (Mulyono dkk, 2009).
Hasil penelitian yang lebih baru tidak hanya memfokuskan pada kesalahan manusia sebagai faktor utama penyebab kecelakaan lalu lintas. Pemikiran ini didasari bahwa kesalahan manusia lebih banyak dipicu oleh kondisi sistem lalu lintas dan jalan raya yang pada saat-saat tertentu tidak dapat diantisipasi oleh pengguna jalan. Sebagai contoh, penelitian di Universitas Leeds tahun 1989 (Carsten, 1989) atas kecelakaan di daerah perkotaan mengkategorikan lebih jauh faktor kesalahan manusia yang dipicu oleh keterbatasan jarak pandang ketika mengemudikan kendaraan yaitu hampir 30% dari 45% kasus yang disebabkan faktor manusia.
Secara statistik, jalan jarang disalahkan sebagai faktor penyebab. Berbagai analisis atas lokasi kejadian kecelakaan menunjukkan bahwa kesalahan manusia lebih banyak terjadi pada tipe-tipe geometrik jalan tertentu. Bahkan dalam kasus kecepatan tinggi yang sering dianggap sebagai penyebab langsung terjadinya kecelakaan, didapat kenyataan bahwa kecepatan tersebut dipicu secara jelas oleh tipe-tipe lokasi tertentu(Weller, et al., 2006).
Bahkan OECD (1999) telah sampai pada kesimpulan bahwa sistem jaringan jalan luar kota memiliki karakteristik inheren yang secara signifikan berkontribusi terhadap tingginya resiko dan angka kecelakaan. Berkaitan dengan hal tersebut, Rasmussen (1987) menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan keselamatan maka sudut pandang yang lebih bermanfaat adalah dengan menggambarkan kesalahan-kesalahan manusia sebagai kejadian ketidaksesuaian antara manusia dengan mesin kendaraan atau manusia dengan tugasnya. Apabila ketidaksesuaian ini sering terjadi atau terjadi secara sistematik, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kesalahan desain jalan.
Lebih jauh dikatakan, analisis atas laporan kecelakaan mengesankan bahwa aksi manusia dikategorikan sebagai kesalahan karena perbuatan itu dilakukan di dalam lingkungan yang ’tidak ramah’ atau ’kejam’ dikatakan sebagai lingkungan yang ’tidak ramah’, karena hampir tidak pernah tersedia kemungkinan bagi seseorang untuk memperbaiki efek dari kekurangsesuaian kinerjanya sebelum dia menerima akibat yang tidak diinginkan (Rasmussen, 1987). Berdasarkan sudut pandang ini, maka masalah keselamatan lalu lintas bukan lagi masalah kesalahan pengemudi ataupun pengguna jalan, namun lebih pada kesalahan sistem lalu lintas
(termasuk infrastruktur jalan) yang memicu terjadinya kesalahan-kesalahan manusia tersebut. Hal tersebut  juga didukung hasil penelitian Mulyono,et al.(2008) yang menyimpulkan bahwa tanggung jawab yang lebih besar kini berada pada pundak para penyelenggara jalan yaitu perencana sistem jalan raya dan pengatur sistem lalu lintas yang harus mampu menciptakan indikator kuantitatif dalam monitoring dan evaluasi beberapa defisiensi keselamatan akibat penyimpangan standar teknis yaitu geometrik, perkerasan dan harmonisasi perlengkapan jalan sehingga dapat menetapkan kategori potensi kecelakaan pada lokasi jalan tertentu.
Prinsip dasar audit adalah membandingkan kejadian di lapangan yang tercatat dengan standar teknis yang disepakati. Dalam kaitannya dengan infrastruktur jalan, audit akan difokuskan kepada seberapa besar penyimpangan performansi infrastruktur terhadap standar teknisnya, yang meliputi: (1) audit geometrik jalan, seperti jarak pandang, radius tikungan, lebar lajur lalulintas kendaraan, lebar bahu jalan, beda elevasi antara tepi perkerasan dan bahu jalan; (2) audit performansi kerusakan perkerasan, seperti luasan pothole, rutting, deformasi, dan bleeding; (3) audit harmonisasi fasilitas perlengkapan jalan terhadap fungsi jalan, seperti rambu batasan kecepatan dan petunjuk arah, marka, lampu penerangan, sinyal, median, dan guard rail. Performansi audit defisiensi keselamatan infrastruktur jalan diukur terhadap nilai peluang kejadian kecelakaan, nilai dampak keparahan korban kecelakaan dan nilai resiko serta tingkat kepentingan penanganannya.

Sumber artikel & foto :
Mulyono, dkk., Jurnal Teknik Sipil, ISSN 0853-2982, Vol. 16 No. 3 Desember 2009, hal 163-174.

No comments:

Post a Comment